Upaya memotivasi (motivating)
individu dapat dilakukan melalui berbagai cara. Menurut Huse dan
Bowditch (1973), terdapat tiga model memotivasi seseorang, yaitu: (1) model kekuatan dan ancaman; (2) model ekonomik/mesin, dan (3) model pertumbuhan-sistem terbuka.
Yang akan kita bicarakan di sini adalah model yang pertama yaitu pemotivasian model kekuatan dan ancaman (a force and coercion model).
Model ini merupakan model tertua dan sangat sederhana dalam memahami
atau memandang manusia. Model ini mempratikkan pemotivasian dengan cara
memaksa orang lain (baik melalui tindakan atau verbal) untuk
berperilaku tertentu dengan cara menggunakan ancaman, intimidasi atau
bentuk lain yang bersifat represif dengan menggunakan kekuatan (power), yang dimilikinya.
Asumsi yang mendasari model pemotivasian model kekuatan dan ancaman
ini adalah bahwa seseorang akan bekerja (belajar atau berperilaku)
dengan baik apabila disudutkan pada sebuah situasi, di mana ia hanya
bisa memilih bekerja ataukah dihukum (Huse dan Bowditch, 1973).
Asumsi ini senada dengan asumsi yang mendasari teori X-nya
McGregor, bahwa pada dasarnya manusia itu malas, suka menghindari tugas
dan tanggung jawab, dan apabila tidak diintervensi dan diancam oleh
atasan, maka ia akan pasif. Oleh sebab itu agar seseorang mau bekerja ia
harus dipaksa (Carver dan Sergiovanni, 1969).
Pemotivasian Model Kekuatan dan Ancaman oleh
beberapa kalangan sering disebut sebagai strategi buntu, yaitu strategi
yang terpaksa digunakan ketika pemimpin sudah merasa kehabisan akal
(atau justru kehilangan kewarasannya?) untuk merubah perilaku
orang-orang yang dipimpinnya.
Sepintas, model pemotivasian
yang menebarkan kecemasan ini tampak sangat efektif untuk memotivasi
seseorang. Melalui ancaman dan intimidasi tertentu, orang akan menjadi
patuh dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan
(atau mungkin tepatnya sesuai dengan keinginan).
Namun dibalik itu perlu diwaspadai, penggunaan pemotivasian model kekuatan dan ancaman
ini ternyata dapat menjadikan orang tidak bahagia dan dapat merusak
kepribadian seseorang. Dengan adanya ancaman terus menerus, orang akan
merasa tidak bisa mengembangkan potensinya, mengalami ketumpulan
berfikir, dan mengalami ketegangan jiwa (stress).
Dalam konteks sekolah, Les Parsons dalam bukunya yang berjudul Bullied Teacher Bullied Student mengupas
tentang perilaku intimidasi di sekolah yang dilakukan siswa, guru dan
kepala sekolah. Dikatakannya, bahwa pelaku intimidasi secara sengaja
bermaksud menyakiti seseorang secara fisik, emosi atau sosial dan pelaku
intimidasi sering merasa perbuatannya itu dapat dibenarkan.
Dalam konteks bisnis, hasil penelitian
yang dilakukan oleh Dr Nicolas Gillet, dari Universite François Rabelais
di Prancis menunjukkan bahwa manajer yang menggunakan ancaman sebagai
cara untuk memotivasi karyawan, cenderung memiliki dampak negatif pada
kesejahteraan karyawan.
Jika sudah seperti ini, maka hasil dari
upaya pemotivasian akan menjadi terbalik, seharusnya dapat meningkatkan
kinerja atau prestasi yang lebih baik malah yang terjadi adalah
penderitaan dan kerusakan kepribadian.
Oleh karena itu, untuk menjadi pemimpin yang sukses sedapat mungkin kita perlu menghindari penggunaan pemotivasian model kekuatan dan ancaman
ini. Gunakanlah cara-cara pemotivasian lain yang lebih manusiawi, yang
dapat menjadikan orang-orang berbahagia, mampu berinovasi dan dapat
mengoptimalkan segenap potensi yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar